Teladan Perempuan Muslim: Ibu dari Ayahnya: Kisah tentang Siti Fatimah az-Zahra, Puteri Nabi Muhammad.


Herstory/Leluhur Perempuan
Teladan Perempuan Muslim:
Ibu dari Ayahnya: Kisah tentang Siti Fatimah az-Zahra, Puteri Nabi Muhammad.
Oleh: Neng Dara Affiah
Pengantar
Tak banyak buku atau kitab yang menulis tentang Siti Fatimah, Puteri Nabi Muhammad SAW, padahal nama ini sangat berpengaruh di dunia Islam. Namanya diabadikan sebagai nama suatu kekhalifahan bernama al-Khilafah al-Fatimiyah (909-1171 M) yang kekuasaannya meliputi Afrika Utara, mulai dari Samudera Atlantik di Barat hingga Laut Merah di Timur. Selain itu, ia juga satunya-satunya puteri Nabi yang memberikan kepadanya keturunan. Sementara anak-anak yang lainnya meninggal di masa mereka kecil atau pada masa remajanya.
Diantara buku yang tak banyak ditulis itu terdapat buku tentang Fatimah yang ditulis oleh Ali Syariati, cendekiawan Muslim asal Iran yang hidup antara 1933 hingga 1977. Buku itu berjudul: Fatimah Is Fatimah. Doktor Sastra lulusan Universitas Sorbonne, Perancis ini menuliskan alasannya mengapa ia menulis biografi Fatimah, "Saya mendapatkan bahwa pada toko-toko buku tidak ada buku tentang Fatimah, dan dengan demikian maka para cendekiawan kita tak mengetahui apa-apa tentang kehidupannya. Saya merasa wajib mengisi kekosongan ini hingga cukup memadai. "
Buku lain yang menulis tentang Fatimah adalah Baqir Syarif Qarasyi, berjudul: Hayatu Sayyidah al-Nisa' Fathimah al-Zahra AS: Dirasah wa Tahlil yang diterbitkan pada 2012. Buku yang terbit di Iran ini agaknya ditujukan untuk para pembaca kaum Syiah, meskipun ia menyatakan mengambil banyak rujukan juga dari kalangan Sunni.
Tulisan ini merujuk pada kedua buku tersebut dan beberapa buku mengenai sejarah hidup Nabi Muhammad yang mengisahkan tentang putera-puterinya, diantaranya adalah tentang Siti Fatimah.
I
Sekelumit Sejarah Kehidupannya
Fatimah adalah puteri Nabi Muhammad yang paling kecil atau puteri bungsunya. Ia lahir di Makkah. Mengenai waktu kelahirannya menjadi perdebatan ahli sejarah. Dari kalangan Sunni menyebut lima tahun sebelum kenabian Nabi Muhammad, sementara dari kalangan Syiah menyatakan lima tahun sesudah kenabian.
Dikisahkan, Fatimah merupakan sosok yang sangat mirip dengan ayahnya. Siti Aisyah RA menyatakan, "Aku belum pernah melihat seseorang yang kemiripannya seperti Rasulullah melebihi Fatimah az-Zahra, baik dari keindahan wajahnya, perilaku, perkataan, saat berdiri maupun saat duduk.
Fatimah pun merupakan puteri terkasih Nabi. Dalam rekaman sejarah dinyatakan, Nabi terbiasa mencium wajah dan tangan Fatimah. Pun juga jika ia hendak melakukan perjalanan, beliau mengetuk pintu rumah Fatimah dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Baqir Syarif Qarasyi menulis yang merujuk pada Hadis Sunan Tirmizi dan Sunan Abi Dawud menyatakan, "Setiap kali ia memasuki rumah Rasulullah SAW, maka beliau pun bangkit, menciumnya dan memberikan tempat duduk kepadanya. Jika beliau memasuki rumah Fatimah, maka ia akan berdiri untuk menyambut ayahnya, mencium Nabi dan memberikan tempat duduknya kepada beliau."
Demikian istimewanya keberadaan Fatimah di hati Nabi, beliau pun pernah bersabda, "Keridhaan Fatimah adalah keridhaanku dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Apa yang disukai puteriku Fatimah, aku menyukainya. Apa yang memuaskan Fatimah, juga memuaskanku. Apa yang menimbulkan kemarahan Fatimah, juga menimbulkan kemarahanku. "
Sabda Nabi yang lain menyatakan, "Fatimah bagian dari diriku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit, bila ia disakiti. "
Fatimah menikah dengan keponakan Nabi yang sekaligus menjadi sahabat seperjuangannya selama hidup, yakni Ali Bin Abi Thalib. Sebelum Ali melamarnya, ia sempat bertanya pada dirinya sendiri, mungkinkah ia bisa memisahkan Fatimah dengan ayahnya yang sangat dekat dan mencintainya? Tetapi lamaran itu tetap ia ajukan kepada Nabi dan peristiwa lamaran tersebut ditulis oleh Ali Syariati dalam dialog sebagai berikut:
" Adakah Engkau mempunyai sesuatu? "
"Tak punya apa-apa, wahai Nabi. "
"Di manakah perisai yang aku berikan kepadamu di Perang Badr? "
"Ada padaku. "
"Berikan itu. "
Ali segera pergi mengambil perisai itu lalu kembali dan menyerahkannya ke tangan Nabi. Nabi memerintahkan supaya perisai itu dijual di pasar dan dengan harganya yang sedikit ia harus memulai hidupnya. Utsman membelinya seharga empat puluh dirham. Nabi mengumpulkan para sahabat beliau lalu melaksanakan upacara perkawinan itu.
Setelah Fatimah dan Ali Bin Abi Thalib menikah, ia tinggal beberapa lama di Quba, di dekat sebuah mesjid yang telah dibangun Nabi sebelum ia ke Madinah. Setelah itu, mereka berpindah ke Madinah dan tinggal di dekat masjid yang telah dibangun oleh Nabi. Rumah Nabi dan Fatimah dibuat berdampingan. Pintunya menghadap ke masjid, dinding ke dinding, dua jendela saling berhadapan, satu dari rumah Fatimah dan yang lainnya dari rumah Nabi.
Tahun ketiga Hijriah, setahun dan beberapa bulan setelah perkawinan itu, lahirlah puteranya Hasan. Setahun kemudian lahir pula putera keduanya Husain. Di tahun kelima perkawinan Ali dan Fatimah, lahir dua anak perempuannya, yakni Zainab dan Ummu Kultsum, dua anak perempuan yang namanya sama dengan dua anak perempuan Nabi.
Tak lama setelah sembilan puluh lima hari Nabi meninggal, Fatimah pun menyusulnya. Ia meninggal pada hari Senin, 3 Jumadil Akhir, tahun 11 Hijriah. Menurut banyak riwayat, ia meninggal pada usia 27 tahun.
Sebagai panggilan penghormatan terhadap Siti Fatimah, ia memperoleh beberapa julukan (kuniyah), diantaranya adalah Ummu Abiha, yaitu ibu dari ayahnya. Hal ini dikarenakan kasih sayang dan perhatiannya yang luar biasa kepada ayahnya.
Ali Syariati menulis bahwa di hari ketika Nabi Muhammad bersujud di masjid dan musuh-musuhnya melemparinya dengan isi perut biri-biri, tiba-tiba Fatimah kecil mendekati ayahnya, memungut isi perut hewan itu lalu membuangnya. Melalui tangan kecilnya yang penuh kasih, ia membersihkan kepala dan wajah ayahnya tersebut.
II
Pendidikan Fatimah dan Warisan Ajaran-Ajarannya yang Bersifat Universal.
Fatimah memperoleh pendidikan langsung dari ayahnya, Nabi Muhammad. Nabi mengajarkan kepadanya al-Quran, sebab-sebab turunnya ayat (Asbabun-nuzul) dan pengetahuan-pengetahuan al-Qur'an lainnya. Demikian juga diajarkan kepadanya hukum-hukum syariat, baik yang terkait dengan hukum ibadah maupun mua'amalah. Terpenting diajarkan kepadanya etika dan dasar-dasar prilaku hidup yang benar.
Menurut kitab Hayatu Sayyidah al-Nisa' Fathimah al-Zahra AS: Dirasah wa Tahlil, beberapa ajaran yang diberikan Nabi Muhammad kepada Siti Fatimah yang menjadi pedoman hidup etika umat Islam dan nilai-nilai yang bersifat universal diantaranya adalah:
1. Berlaku adil.
Keharusan berlaku adil adalah suatu hal yang diajarkan dan ditekankan oleh Nabi kepada Fatimah, sebab dengan keadilan, hak-hak dan kehormatan serta kemuliaan manusia akan terpelihara dan terjaga.
Nabi bersabda kepada sahabatnya Usamah bin Zaid. "Selama hukum berada di tangan saya, tak ada jalan untuk meluputkan diri. Sekalipun ia putri Nabi, Fatimah, jari-jarinya akan dipotong."
Fatimah Zahra berkata, " Allah Swt mewajibkan berlaku adil sebagai minyak kesturi bagi kalbu-kalbu. "
2. Tidak Melakukan Kekerasan terhadap Perempuan
Salah satu etika terpuji yang diperintahkan oleh Nabi kepada umatnya adalah tidak melakukan praktik kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun, baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan verbal dan penelantaran terhadap ekonomi keluarga. Sebagaimana sabda Nabi:
"Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling lembut perangainya dan orang yang paling memuliakan perempuan-perempuannya.”
3. Penekanan atas Ajaran Kebersihan.
Kebersihan sangat ditekankan oleh Nabi kepada Fatimah, baik itu kebersihan badan, pakaian, rumah, jalan dan lingkungan hidup yang lebih luas. Banyak sabda yang mengajarkan tentang kebersihan ini. Salah satunya adalah: "Kebersihan adalah sebagian dari iman. "
4. Berbuat Baik kepada Tetangga.
Nabi pun mengajarkan kepada Fatimah dan umatnya untuk berbuat baik kepada tetangga, sebab tetangga adalah manusia dan masyarakat terdekat dimana kita bisa saling tolong menolong dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sebagaimana sabda Nabi:
"Bukanlah seseorang dianggap beriman jika tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya."
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia tidak mengganggu (menyakiti) tetangganya."
5. Berkata Baik.
Nabi pun mengajarkan Fatimah dan umatnya untuk harus selalu berkata baik dan menahan diri untuk berkata buruk. Sebab apa yang keluar dari mulut kita merupakan cermin dari dalam diri kita. Jika hatinya baik, maka yang keluar dari mulutnya kebaikan. Pun juga sebaliknya, jika hatinya buruk, maka yang keluar dari mulutnya pun hanya yang buruk-buruk saja.
Nabi bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik, atau diam." Sabdanya yang lain, "Sesungguhnya Allah mencintai mereka yang pemurah, sabar dan pemaaf serta membenci mereka yang suka berkata buruk, meminta-minta dan melanggar sumpah. "
6. Mempunyai Rasa Malu.
Ajaran lain yang diberikan Nabi kepada Fatimah dan umat Islam adalah keharusan mempunyai rasa malu, terutama rasa malu untuk melanggar aturan, berbuat buruk dan jahat serta rasa malu memperturutkan hawa nafsu yang bersifat serakah. Nabi bersabda: "Sesungguhnya, rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman akan membawa manusia ke surga. Sedangkan perkataan buruk adalah bagian dari kekejian dan kekejian akan membawa manusia ke neraka."
III
Demikian fragment kehidupan Fatimah, seorang perempuan pembentuk sejarah yang keluhuran dan ajaran-ajaran yang diwariskannya bukan semata-mata karena ia puteri Nabi yang memperoleh privilege atau hak istimewa tertentu karena ayahnya, melainkan karena kepribadian dan karakter yang melekat kuat kepada dirinya.
Ali Syariati menulis, "Fatimah adalah putri Khadijah yang agung, tapi saya merasakannya itu bukan Fatimah. Fatimah adalah puteri Nabi Muhammad, saya merasakannya itu juga bukan Fatimah. Fatimah adalah istri Ali Bin Abi Thalib, saya merasakannya juga bukan Fatimah. Fatimah adalah Ibu Hasan dan Husain, saya merasakannya itu juga bukan Fatimah. Fatimah adalah ibu Zainab, masih juga saya merasa itu bukan Fatimah. Meski semuanya itu benar, tetapi tak satu pun dari mereka adalah Fatimah. Fatimah adalah Fatimah." *****