Ajaran Islam dan Mekanisme Menjadi Manusia Baru


Ajaran Islam dan Mekanisme Menjadi Manusia Baru (Reborn).
Neng Dara Affiah.
Disadari, tak ada manusia yang sempurna dan tak ada pula manusia yang sepenuhnya pendosa. Tak ada manusia yang sepenuhnya suci, tak ada pula manusia yang sepenuhnya najis. Karena itu, semua ajaran agama menyediakan mekanisme pertaubatan, pengampunan, meminta maaf atas tindakan yang tak senonoh, menyakiti, merusak dan perbuatan tak pantas lainnya sepanjang perjalanan hidup kita, baik dalam pelbagai ritual harian seperti salat dalam Islam maupun ritual pengampunan dosa dalam agama lainnya.
Kesucian dan kemurnian manusia adalah cita ideal bagi hampir seluruh ajaran agama. Dalam Islam diyakini bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan suci. Ia tak membawa bagasi dosa apapun. Alam materi dan proses hidupnyalah yang membuat seseorang itu baik atau jahat.
Jika dalam proses hidupnya manusia tidak dalam keadaan suci, maka semua agama menyediakan mekanisme untuk lahir kembali (reborn) dan menjadi manusia baru. Kebaruan bukan karena pendek atau panjangnya usia, melainkan karena diri mengalami transformasinya, baik transformasi mental, pemikiran maupun transformasi tubuh.
Pemurnian Jiwa (Tazkiyatun Nafs).
Mengapa manusia harus melakukan pemurnian jiwa dan transformasinya? Al-Qur'an Surat Yusuf Ayat 53 memberikan jawabannya: "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. "
Pelbagai ritual dalam ajaran agama dimaksudkan untuk melakukan transformasi tersebut. Salah satunya adalah ibadah shalat. Dalam al-Qur'an Surat al-A'la ayat 14-19 tertulis: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. Tetapi kamu (orang-orang yang mengingkari kebenaran universal) memilih kehidupan duniawi, sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab suci terdahulu, yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa."
Pertanyaan bisa diajukan, bagaimana menghubungkan ibadah shalat dengan pemurnian jiwa? Al-Qur'an Surat al-Ma'arij ayat 19-27 memberikan jawabannya sebagai berikut: "Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat keluh kesah lagi kikir, apabila dia ditimpa sedikit kesusahan atau musibah, dia berkeluh kesah. Apabila mendapat kebaikan (harta), ia amat kikir; kecuali orang-orang yang melaksanakan salat dengan baik dan benar, sehingga dapat mengalahkan sifat negatif tersebut; yang selalu setia mengerjakan salatnya, yang di dalam hartanya ada bagian tertentu; untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta-minta; yang memercayai hari Pembalasan; dan yang takut terhadap azab Tuhannya.
Pun juga dengan fungsi puasa. Ritual puasa yang dilaksanakan selama satu bulan ini dimaksudkan untuk membersihkan manusia dari kesalahan dan dosa-dosa di masa lalunya. Setidaknya, membersihkan perutnya yang sepanjang tahun terisi dengan beragam jenis makanan yang mungkin bisa menyebabkan segala penyakit bisa diidap manusia. Fungsi puasa, dalam banyak penelitian, paling sedikit mendetoksi atau membersihkan tubuh dari asupan makanan yang dimakan oleh umat manusia.
Tetapi fungsi lebih jauh puasa, bukan hanya mendetoksi atau membersihkan jasmani, melainkan juga untuk mendetoksi atau membersihkan ruhani. Salah satu cara untuk membersihkan ruhani adalah tidak berbicara yang sia-sia dan apalagi berbicara hal-hal kotor yang dapat menyakiti perasaan orang lain. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadis: "Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum saja, puasa juga menahan diri dari berkata sia sia dan keji/kotor." (HR. Bukhari dan Muslim).
Puasa ini tidak khas ajaran Islam, melainkan juga diajarkan dalam banyak agama-agama lainnya. Dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat 183 tertulis: " Kama kutiba 'alalladzina min qablikum", sebagaimana diwajibkan (puasa ini) kepada orang-orang sebelum kamu (sebelum adanya umat Islam).
Setelah sebulan melaksanakan ritual puasa, umat Islam mengakhirinya dengan Idul Fitri, suatu hari yang bermakna kembali kepada keadaan suci (fitrah). Itulah sebabnya, umat Islam harus meminta maaf kepada orang-orang dekat yang potensial kita punya kesalahan, karena manusia, meskipun tak ingin berbuat salah, tapi seringkali terjerembab dalam melakukan kesalahan. Baik kesalahan yang direncanakan dan disengaja maupun kesalahan yang bersifat spontan. Dalam ajaran keimanan, Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita kepada manusia, jika manusia tersebut tidak memaafkan kesalahan kita. Ini hubungannya dengan sesama manusia (hablumminannas). Manusia pun harus memberikan pemaafan kepada orang yang memintanya. Mekanisme permintaan maaf di hari raya Idul Fitri ini disediakan oleh agama Islam untuk kembali bersih dan suci sebagaimana bayi yang lahir tanpa noda. Ia harus mengalami transformasi atau perubahan diri ke arah yang lebih baik seiring usia yang disandangnya dari tahun ke tahun.
Untuk mengakhiri tulisan ini, kesimpulan yang bisa ditulis bahwa setiap ritual didalam ajaran Islam bukanlah tanpa makna, ia sarat dengan makna. Makna terdalam dari seluruh ritual itu adalah bagaimana manusia harus terlahir kembali sebagaimana saat kita terlahir sebagai seorang bayi, bersih dan suci lahir dan batin. Jika orang tidak sampai pada tujuan di atas, maka hal tersebut adalah persoalan penghayatan dan pemaknaan. Pun juga tentang apa yang dinyatakan dalam al-Qur'an "Kecuali orang-orang yang melaksanakan salat dengan baik dan benar. "
Penyucian diri (tazkiyyatun nafs) untuk tujuan transformasi hidup akan membawa semangat hidup dan kemungkinan terhindar dari sikap frustasi, mungkin juga terlihat awet muda, tanpa membawa beban dosa dan kesalahan, mengalami pemaafan dari diri sendiri dan orang-orang yang mungkin telah kita sakiti, hingga jika kita mengakhiri hidup di dunia yang hanya mampir ini, kita dapat mengakhirinnya dalam keadaan suci dan baik (khusnul khotimah).***